“Walah nduk..nduk.. bar mangan keju kok mangan telo”
(artinya: “wah nak..nak.. habis makan keju kok makan ketela”)
Beliau berkata demikian seraya tertawa remeh saat saya mengatakan kemana saya hendak melanjutkan pendidikan di bangku kuliah.
“Haha.. istifar ya pak..” bagitu tambah teman saya sembari bergurau memelesetkan nama kampus saya (STIFAR)
Saya pernah duduk di bangku sekolah menengah yang yaahh.. oke, mungkin memang bukan SMA paling nomor wahid di kota Semarang, yangmana sudah disandang oleh SMA tetangga. Namun, SMA saya tidak bisa dipandang sebelah mata oleh masyarakat Semarang. Apalagi didukung dengan letak geografisnya yang strategis, di tengah kota, di kawasan perkantoran dan pemerintahan serta dekat dengan mall.
Semua orang Semarang tahu, SMA 5 Semarang itu yang dekat SMA 3 Semarang (kami sering disebut SMA kompleks), yang ada di jalan Pemuda, yang depannya Gramedia Amaris, yang depannya ada shelter BRT, yang dekat balaikota, yang begini..yang begitu.. dsb.
Pembaca blog yang budiman, ini bukan postingan tentang membanggakan sekolah, menyombongkan almamater, atau sejenisnya, bukan. Saya hanya memaparkan fakta yang ada, agar anda bisa memahami maksud perkataan dari Pak Har di atas dan bisa memahami perasaan saya saat pak Har berkata demikian pada saya.
Saat ini, saya sedang menempuh studi di sebuah perguruan tinggi swasta yang nyaris banyak orang Semarang tidak mengetahuinya. Dengan usia baru sekitar 10 tahun berdiri, area kampus yang lahannya minim serta masih berakreditasikan B.Orang-orang selalu mengernyitkan dahi bila saya menyebutkan nama kampus saya. Kampus saya tidak berada di kawasan tengah kota seperti SMA saya dulu. Kampus saya jauh dari mall. Letaknya di pinggir kota dekat perbatasan kota Semarang dan Demak. Makanya saya tidak menyalahkan bila orang-orang selalu bertanya dimana letak kampus saya. Jalanannya juga jelek dan sempit, jauh berbeda dengan SMA saya yang beralamat di Pemuda 143 dengan kontur jalan yang mulus tidak berlubang. Bagaimana jalannya tidak bagus, SMA saya kan dekat dengan balaikota.
STIFAR, mendengar namanya saja sering mengundang tawa baik guru maupun teman-teman saya. Pak Har pun juga ambil bagian tentunya. Kampus antah berantah, nggak terkenal, nggak jelas, begitu mungkin pikir mereka.
Saya harus menelan ludah yang terasa begitu pahit dan memajang senyum kecut saat pak Har mengatakan kalimat di atas tadi pada saya di perpustakaan sekolah.
“Kenapa nggak di UGM aja to kuliah farmasinya? Wong SMA 5 tu ya orientasinya kalau bisa PTN favorit to nduk.” lanjut kata pak Har.
“Nggak boleh luar kota pak, sama orang tua.” jawab saya malas.
“Wong bar sekolah ning Pemuda kok sekolah ning Pucang Gading. Hahaha..” pak Har menertawai saya dengan santainya. Sementara saya harus mengehela napas panjang sambil masih memasang senyum kecut dengan perasaan miris.
Satu-satunya alasan yang menyebabkan saya hingga bisa kuliah di perguruan tinggi swasta tidak ternama tersebut adalah rekomendasi dari orangtua saya, khususnya ibu saya yang kebetulan orang medis.
Masih bisa saya ingat dengan jelas perasaan saya dulu, ketika saya masih meluncurkan berbagai aksi penolakan terhadap usul orangtua saya tersebut. Bagaimana tidak, saya sejak SMA paling bodoh dengan pelajaran kimia. Saya juga tidak terlalu menyukai pelajaran tersebut, masa saya disuruh kuliah di tempat yang justru ilmu kimia menjadi menu utamanya sehari-hari? Ini gila.
Saya juga dari dulu ingin sekali memakai jas almamater Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Saya selalu membayangkan alangkah bahagianya jika bisa menjadi salah satu bagian dari keluarga besar Undip. Dulu map, brosur, hingga buku-buku panduan informasi tentang kampus Undip berjajar rapi di lemari saya. Sesekali tempo saya membuka-bukanya, membacanya, menatap lamat-lamat gambar kampus Undip sembari senyum-senyum sendiri, membayangkan bila saya berada disana. Undip memiliki ruang khusus dalam hati saya. Undip adalah mimpi saya. Mimpi yang paling ingin saya wujudkan menjadi kenyataan. Walaupun mungkin Undip bukan universitas kelas kakap selevel UGM, UI, ataupun ITB saya tetap ingin kuliah disana. Ini bukan mimpi yang terlalu muluk kan ? apalagi bila menengok teman-teman SMA saya ternyata nyaris separuhnya sekarang telah bertengger manis di universitas negeri terbaik di kota Semarang tersebut.
Tapi ternyata Tuhan berkata lain. Dia berkata “tidak” dengan keras.
Orangtua saya sama sekali tidak berharap ataupun menganjurkan saya kuliah disana, di kampus impian saya. Menurut orangtua saya, kuliah di jurusan farmasi prospek kerjanya lebih bagus. Dan tentu saja itu tidak bisa mengantarkan saya ke civitas Undip karena Undip tidak memiliki jurusan farmasi. Ah, sial sekali.
Sebuah kampus swasta tidak ternama di kawasan pinggir kota Semarang malah memiliki program studi farmasi seperti yang diharapkan orangtua saya.
Sebenarnya saya bisa saja nekat bilang “tidak mau”. Tapi saya bukan tokoh seperti di film-film atau novel dengan konflik sejenis yang bisa melakukan hal itu dengan mudah.
Saya masih memiliki pemikiran, sukses tidaknya kita itu bergantung pada restu orangtua. Bila orangtua merestui kita, beliau akan senantiasa bahagia dan mendoakan kita yang terbaik. Saya ingin yang seperti itu. Bagaimanapun, saya juga tidak mau langkah saya tersendat di tengah jalan besoknya karena tidak adanya restu orangtua.
Dalam membuat keputusan ketika itu sangatlah tidak mudah. Hati saya bergolak hebat. Saya tidak rela, sejujurnya sangat tidak rela melepaskan keinginan saya. Bahkan saya menangis saat harus berhenti mengikuti program bimbingan belajar persiapan SNMPTN yang sudah setengah jalan saya lakoni. Oleh karena itu saat mendaftar di kampus swasta tersebut, saya sangat ogah-ogahan, pasang tampang cemberut maksimal hingga pak satpam tak bersalahpun jadi korban kejengkelan saya. Saya selalu berdoa semoga kampus swasta ini tidak menerima saya. Tapi ternyata Tuhan tidak selalu menjawab “ya” pada setiap doa kita.
Dulu, ada sebuah perkataan yang terlontar secara tidak sengaja dari guru SMA saya, bu Mindar yang cukup membuat saya termenung untuk beberapa saat, bunyinya seperti ini:
“Terkadang sesuatu yang dipaksakan belum tentu berakibat buruk. Kalau tujuannya baik, maka tidak ada salahnya dilakukan selama kita mampu.”
Dan perkataan guru saya mengantarkan saya ke kampus saya saat ini, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFAR) sekitar satu semester lalu :’)
Baru beberapa minggu lalu, saya dan teman-teman SMA saya menjenguk ayah teman saya yang dirawat di rumah sakit. Teman-teman saya yang mayoritas kuliah di Undip, berceloteh ria panjang lebar mengenai fakultas dan kegiatan kuliah mereka masing-masing.
Saya diam, tidak ikut ambil suara dan memutuskan jadi pendengar yang baik saja. Entahlah, saya merasa berkecil hati sepertinya teman-teman saya tidak minat mendengar cerita saya bersama kampus kecil saya.
Semakin lama mendengar segala sesuatu tentang Undip, ada perasaan tidak enak yang mengusik saya. Rasanya menohok ulu hati dan membuka luka lama. Tapi saya berusaha tetap terlihat senormal mungkin.
Pulang dari rumah sakit, teman-teman saya mengajak makan di luar. Saya tercengang ketika mengetahui bahwa kami ternyata hendak makan di daerah Tembalang, di kawasan Undip!
Saya berdialog dengan diri sendiri dalam hati, ayolah dil! Apa-apaan kamu ini. Ini sudah 6 bulan. Biasa aja dong reaksinya!
Sesampainya di kawasan Tembalang, ternyata saya masih belum bisa membohongi diri sendiri, hati saya terasa sesak. Saya ternganga, takjub karena walaupun saya orang Semarang saya sangat jarang ke daerah sini. Melihat bangunan fakultas-fakultas Undip yang berdiri angkuh menjulang tinggi, kawasannya sangat ramai, banyak mahasiswa Undip berlalu lalang, banyak juga tempat-tempat makan yang kelihatannya sangat nyaman untuk disinggahi, masjidnyapun besar dan indah, kawasannya sangat sejuk dan menentramkan hati. Berbeda 180 derajat dengan kampus kecil saya. Ya Allah…ini benar-benar menyayat ulang luka lama yang baru sembuh.
Saya diuji, kesabaran dan keikhlasan saya diuji.
Namun, perkataan dari teman-teman kuliah saya kemudian membuka mata saya lebar-lebar.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian tersebut, di suatu sore. Saya, Dias, Chil, Finda dan Iyah saling bertukar cerita mengenai masalah ke’tidakberartinya’ kampus kecil kami di mata banyak orang. Teman-teman saya ternyata juga merasakan dan mengalami apa yang saya alami. Tapi, kemudian teman saya berkata,
“Apa sih yang jadi tujuan kita kuliah? Ujung-ujungnya nyari kerja juga kan? Nggak mungkin kita kuliah terus-terusan. Mau dimana aja kita kuliah kalau ujung-ujungnya nganggur buat apa?”
“Iya, kita tuh susahnya sekarang aja dulu, tapi ntar kita yang tertawa terakhir soalnya kita insya Allah lebih cepet dapet pekerjaan daripada mereka-mereka.”
“Buat apa almamater keren, kuliah di Undip tapi jurusannya ecek-ecek nggak jamin masa depan.”
Saat itu juga saya serasa ditampar, Tuhan seolah-olah sedang berkata pada saya “dil, ini yang Ku maksud! This is what I mean! Can’t you just understand it?”
Mungkin kalau saya tidak kuliah di kampus yang menurut saya tidak terkenal itu, saya tidak akan pernah bertemu dengan teman-teman hebat seperti mereka.
Mungkin kalau saya tidak kuliah di kampus yang menurut saya kecil itu, saya tidak akan pernah memahami hakekat dan maksud baik orangtua saya.
Ya, kampus kecil dan tidak terkenal itu yang justru memberi banyak hal positif tapi tidak saya sadari.
Kampus kecil dan tidak terkenal itu, memiliki link dengan berbagai perusahan obat dan jamu di Indonesia, bersahabat dengan berbagai rumah sakit. Mereka siap menerima kami nanti ketika sudah lulus. Tidakkah itu pilihan yang sangat tepat untuk menempuh studi di kampus ini? Kampus yang lebih menjanjikan masa depan.
Maafkan aku kampusku, aku terlalu sombong ketika itu. Aku sok mengeksklusifkan diri hingga memandangmu dengan picik. Aku tidak bangga terhadapmu, padahal sudah enam bulan aku bersama denganmu. Aku mengabaikanmu, merendahkanmu, padahal aku ini siapa dan apa? Memangnya pantas aku begitu?
Maafkan aku kampusku, aku belum dewasa dalam menilaimu. Aku membandingkanmu yang masih sangat belia dengan kampus yang sudah berdiri tegak jauh lebih lama darimu. Pemikiran yang tidak tepat dan kurang bijaksana.
Maafkan aku kampusku, aku terlalu kekanak-kanakan. Aku hanya menilai kampus dari gengsi alamamater semata. Kau bukanlah barang atau mainan untuk dipamerkan pada anak tetangga. Kau kebutuhanku, yang Tuhan berikan meski aku tidak menginginkanmu. Kau adalah jodohku. Dengan segala kelebihan dan kekuranganmu kau milikku.
Saya sudah melangkah sejauh ini, niat awal ketika hendak memulai perjalanan panjang ini adalah membahagiakan orangtua. Sudah semestinya saya wajib melakukan yang terbaik. Seharusnya pula saya mencintai dan melakukan dengan sepenuh hati apa yang sudah menjadi bagian hidup saya selama enam bulan terakhir ini.
Orangtua selalu tahu apa yang terbaik bagi anak-anaknya. Dulu kalimat ini terasa begitu egois menurut saya. Sekarang saya mengakui, kalimat itu tidak salah.
Tidaklah penting dimana kamu kuliah, yang terpenting adalah bagaimana kamu ketika menjalani kuliah itu
sendiri serta menjadi seperti apa dirimu setelah itu. Sukseskah?
Kampusku, terimakasih telah sudi melebarkan tanganmu merengkuhku menjadi salah satu anggota keluargamu.
Setiap orang adalah arsitek bagi kesuksesan diri mereka sendiri. Kita buktikan bersama-sama bahwa kesuksesan bukan hanya milik mereka yang menyebut diri mereka “keju” tapi juga kita si “telo”.
Terakhir, buat pak Har.. pernah dengar yang namanya burger telo? Ada lho pak, di TV.. rasanya enak dan banyak yang suka, jadi jangan remehkan telo :)
salam cinta, salam ceria :)