fadilla kurniasari

Mentari yang masih berdiri sepenggalah menyapa lembut ruas jalan Supriyadi yang lalu lintasnya kini mulai padat. Sekarang adalah menjelang pukul tujuh pagi. Jam-jam sakral bagi para pelajar malas yang bangun kesiangan dan sedang berpacu dengan waktu untuk sesegera mungkin sampai sebelum hukuman menyambut di depan pintu gerbang sekolah. Para pekerja dengan jadwal pagi dari mulai buruh kecil yang mengayuh sepeda hingga pegawai kantoran bermobil sama-sama memacu tunggangannya. Supir angkot yang membunyikan klakson, bersaing sengit dengan teman seperjuangannya, heboh berebut penumpang ibu-ibu yang hendak belanja ke pasar terdekat. Hari itu ramai. Mungkin memang selalu ramai begitu setiap harinya. Terus berulang seperti detik jarum yang berotasi dari angka 12 hingga kembali lagi ke angka 12.
Di bahu jalan Supriyadi, seorang wanita paruh baya berjalan kaki menggandeng dua orang anak berseragam sekolah dasar. Tidak, seragamnya bukan berwarna putih pada kemeja dan bukan berwarna merah pada rok ataupun celananya. Tidak, badge almamater di bahu kanan kedua anak tersebut juga bukan bertuliskan nama sebuah SD swasta di kawasan Supriyadi. Pun tas yang dibawa kedua anak tersebut mungkin beratnya jauh lebih ringan dari segerombolan bocah SD lain yang melaju dengan sepeda menyalip mereka secara sembarangan. Mata kedua anak tersebut sipit, tapi mereka bukan keturunan tionghoa. Serta sorotan matanya tampak lucu kalau tak mau dibilang sedikit bodoh.
Si ibu berwajah tirus, kulitnya mencerminkan bahwa ia akrab dengan sinar matahari. Wajahnya kuyu, dengan ekspresi datar sekali. Ya, datar. Tidak tersenyum, tidak cemberut, tidak sedih, tidak bahagia, tidak tahu. Ibu itu benar-benar seperti hantu. Berbeda dengan kedua anak yang digandengnya itu. Mereka terus memamerkan gigi mereka yang tampak tidak rata itu. Menatap takjub setiap manusia yang melintas di samping mereka seolah mereka baru pertama kali keluar rumah.
Mereka bertiga selalu melintas di bahu jalan Supriyadi tiap pagi. Dengan ekspresi yang sama, baju seragam sekolah yang sama, tas sekolah yang sama, sandal jepit si ibu yang selalu jelek.  Begitu terus setiap harinya.
Si ibu dan kedua anaknya tadi berjalan semakin merapat ke pinggir kiri jalan Supriyadi. Mereka melangkahkan kaki memasuki sebuah tempat yang memiliki gerbang besar bertuliskan SEKOLAH DASAR LUAR BIASA DAN SEKOLAH MENENGAH LUAR BIASA
Setiap harinya ternyata mereka selalu berjalan kaki menuju tempat itu. Demi menghemat selembar kertas uang lima ribu, mereka rela menempuh perjalanan yang sama sekali tidak bisa dibilang dekat. Dengan peluh bercucuran si ibu juga akan pulang dengan berjalan kaki pula setelah mengantar kedua anaknya. Ironis sekali, suaminya ternyata sudah berpulang ke sisi Tuhan.
Bahu jalan Supriyadi, menjadi saksi bisu
Si ibu tanpa ekspresi,
Si ibu dengan dua orang anaknya yang tuna grahita,
Si ibu yang nyaris tidak pernah tersenyum,
Si ibu yang hidupnya terlihat begitu getir,
Bahu jalan Supriyadi, menjadi saksi bisu
Bagaimana guratan kelelahan si ibu tanpa ekspresi
Bagaimana tatapan nanar si ibu tanpa ekspresi
Bagaimana wajah polos tak mengerti dari kedua anak itu
Bagaimana  racauan para supir angkot yang ditolak si ibu tanpa ekspresi
Bagaimana pandangan aneh orang-orang di ruas jalan Supriyadi


Bersyukurlah… Tidakkah kita sangat jauh lebih beruntung darinya? Kita masih bisa melakukan hal sepele yang sangat sukar untuk dilakukannya. Tersenyum.

Salam cinta, salam ceria :)
NB:From true story, teman kerja ibu saya tapi beda bagian
Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar